Kemenangan Adalah Hasil Kerja Bersama, Bukan Ajang Rebutan Peran
Kabar Pena, BANYUWANGI – Munculnya opini publik yang menyandingkan dinamika politik lokal Banyuwangi dengan kisah “negeri dongeng” memang menarik, namun perlu diluruskan agar tidak menyesatkan persepsi masyarakat. Kemenangan pemimpin terpilih dalam kontestasi politik bukan sekadar hasil dari strategi individu, melainkan kerja kolektif yang melibatkan seluruh elemen—dari struktur partai, relawan akar rumput, simpatisan, hingga masyarakat luas.
Pandangan yang menyebutkan ada “perebutan kue” atau “haus pengakuan” dalam dinamika pasca-kemenangan sangat disayangkan. Framing tersebut cenderung mempersempit makna dari semangat gotong royong dan kolaborasi yang sejatinya menjadi dasar keberhasilan dalam politik yang berorientasi pada pelayanan rakyat.
Faktanya, dalam proses demokrasi yang sehat, setiap individu memiliki hak untuk berkontribusi dan menyampaikan aspirasi. Namun, ketika kemenangan sudah diraih, maka fokus utama seharusnya adalah menyatukan barisan dan mendukung pemimpin yang telah dipilih rakyat untuk bekerja secara nyata.
Sang pemimpin—baik Bupati maupun Wakilnya—bukan tokoh dalam dongeng, melainkan pemimpin yang nyata dengan amanah besar. Tugas mereka kini bukan lagi membagi “kue”, tapi membagi manfaat dan solusi bagi masyarakat yang lebih luas. Ini bukan tentang siapa paling berjasa, tapi siapa yang paling siap mengabdi.
Bagi mereka yang merasa belum mendapat tempat, narasi yang sehat bukanlah menyulut kekecewaan, tapi membangun ruang kontribusi baru. Demokrasi tak berhenti di pemilu; ia berlanjut di ruang kerja, kritik konstruktif, dan loyalitas terhadap rakyat, bukan sekadar posisi.
Mari dewasa dalam berpolitik. Jangan biarkan kemenangan ternodai oleh narasi-narasi yang melemahkan solidaritas. Saatnya mendukung pemimpin bekerja untuk Banyuwangi yang lebih baik, bukan memperkeruh suasana dengan satire politis yang menyesatkan. (*)
Penulis : Musang Geni
