Sudah Ditertibkan, Pengamen Gandrung Kembali Muncul di Banyuwangi: Dibiarkan Meski Langgar Ketertiban
Kabarpena.com, BANYUWANGI – Meski sempat ditertibkan beberapa bulan lalu, pengamen penari Gandrung berinisial AS (85) kembali beraksi di sejumlah perempatan jalan di Kota Banyuwangi. Aksinya yang terakhir terpantau pada Minggu pagi (3/8/2025) di perempatan Lateng, Banyuwangi, dengan mengenakan kostum lengkap khas Gandrung, termasuk omprok atau mahkota tari.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan publik: mengapa dibiarkan kembali tampil, meski sebelumnya dinilai melanggar ketertiban umum dan sempat ditindak oleh Satpol PP?
AS merupakan warga Vila Bukit Mas, Kecamatan Giri, dan diketahui mampu secara ekonomi. Dalam sehari, ia bisa mengantongi Rp200 ribu hingga Rp1 juta saat hari-hari besar seperti Lebaran, seperti diungkapkan oleh Kepala Bidang Pemberdayaan dan Rehabilitasi Sosial Dinsos PPKB Banyuwangi, Khoirul Hidayat.
“Kami sudah koordinasi dengan Disbudpar untuk pembinaan,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Namun faktanya, pembinaan yang dijanjikan belum menunjukkan hasil nyata. AS tetap mengamen, bahkan di lokasi strategis dan padat lalu lintas. Tidak ada tanda-tanda larangan atau pengawasan ketat dari instansi terkait.
Budaya yang Dibiarkan Longgar di Rumahnya Sendiri
Ironi muncul karena tarian Gandrung — yang merupakan ikon budaya sakral Banyuwangi — pernah diprotes keras saat ditampilkan secara tak layak di kota lain. Dinas Pariwisata Banyuwangi kala itu cepat bereaksi demi menjaga marwah seni daerah.
Namun ketika hal serupa dilakukan di pusat kota Banyuwangi, bahkan dengan kostum lengkap dan dilakukan untuk mengamen di jalanan, reaksi tegas justru terlihat lemah.
“Di luar kota saja diprotes karena dianggap tak pantas, kenapa di kampung halamannya sendiri malah dibiarkan?” ujar Rahmat seorang warga di sekitar Lateng.
Minim Tindakan Tegas dan Edukasi
Publik pun mulai mempertanyakan efektivitas penertiban yang dilakukan Satpol PP dan tindak lanjut pembinaan oleh Dinsos maupun Disbudpar. Jika pembinaan telah dijalankan, mengapa AS tetap mengulangi aktivitas serupa?
Minimnya kontrol lapangan dan lemahnya implementasi pembinaan membuat praktik ini terkesan dibiarkan. Padahal, risiko keselamatan dan citra budaya menjadi taruhannya.
