Ketika Negeri Diam, Alam Berteriak: Kritik Pedas untuk Pemerintah dan PT BSI atas Dugaan Perusakan Hutan Banyuwangi
Kabarpena.com, BANYUWANGI — Suara publik kembali menggema. Bukan tepuk tangan pembangunan, melainkan seruan kecewa atas dugaan perusakan lingkungan di tanah ujung timur Jawa. Dalam talkshow publik yang digelar Media Suara Banyuwangi, Selasa (25/11/2025), aktivis lingkungan Amir Ma’ruf Khan melontarkan kritik keras terhadap pemerintah dan PT Bumi Suksesindo (PT BSI), perusahaan tambang emas yang beroperasi di Banyuwangi.
Amir — yang dikenal vokal membela hutan dan disebut “Raja Angkasa” — menyebut ada kejanggalan yang tak boleh didiamkan. Menurutnya, PT BSI mendapat izin beroperasi sejak 2012, ketika wilayah tambang diduga masih berstatus hutan lindung. Namun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) disebut baru terbit dua tahun setelahnya.
“Jika benar demikian, di mana logika hukumnya? Bukankah izin seharusnya mengikuti kajian lingkungan, bukan sebaliknya?” kritik Amir dalam forum tersebut.
Aktivis itu turut menyoroti mekanisme kompensasi lahan yang dianggap tidak wajar. Lahan negara di daerah Bondowoso dan Sukabumi disebut digunakan sebagai kompensasi, namun dengan perbandingan yang dinilai janggal dan tidak menguntungkan negara. Amir mempertanyakan mengapa kementerian terkait dan pejabat daerah tidak bersikap tegas.

“Jika pejabat hanya mengangguk dan menerima tanpa menguji proses hukum, siapa sesungguhnya yang mereka bela — rakyat atau korporasi?” lanjutnya dengan nada tajam.
Amir mengklaim bahwa penetrasi tambang telah mengubah wajah birokrasi menjadi lebih permisif. Ia menyinggung fenomena pejabat yang menurutnya kehilangan keberpihakan pada lingkungan dan kepentingan publik.
Kritik Amir bukan hanya keluh, tetapi seruan tindakan. Ia berharap Presiden RI Prabowo Subianto turun tangan memastikan penegakan hukum atas dugaan kerusakan kawasan hutan.
“Pesan-pesan Presiden soal pelestarian alam harus menjadi tindakan, bukan sekadar seremonial. Jika ada pelanggaran, negara wajib hadir,” ujarnya.
Isu ini kini menjadi pengingat penting: apakah pembangunan akan terus melaju dengan menyingkirkan lingkungan, atau negara akan memilih menegakkan keadilan ekologis? Publik Banyuwangi — bahkan Indonesia — menanti. Bukan sekadar janji, melainkan keputusan konkret yang menyelamatkan hutan dan generasi mendatang. (ydh)
















