Tragedi Pasca-Rehabilitasi: Aktivis Rofiq Azmy Soroti Dugaan Kegagalan Lembaga Rehabilitasi di Banyuwangi
Kabar Pena, BANYUWANGI – Meninggalnya seorang pemuda berinisial SH setelah diduga bunuh diri hanya beberapa hari setelah keluar dari pusat rehabilitasi narkoba, memicu gelombang kritik terhadap efektivitas sistem rehabilitasi di Banyuwangi.
Aktivis Banyuwangi Selatan, Rofiq Azmy, menyoroti dugaan pelanggaran dalam proses rehabilitasi yang justru membuat pasien semakin terpuruk setelah menjalani program pemulihan.
“Seharusnya pusat rehabilitasi menjadi tempat pemulihan dan pemberdayaan, bukan justru meninggalkan pasien dalam kondisi lebih hancur dibanding saat mereka masuk,” ujar Rofiq Azmy dalam pernyataannya kepada media, Sabtu (22/3/2025).
- Korban Kehilangan Harapan Setelah Rehabilitasi
Menurut keterangan keluarga, setelah menyelesaikan masa rehabilitasi, korban mengalami tekanan mental yang semakin buruk. Alih-alih mendapatkan pendampingan yang cukup untuk kembali ke masyarakat, korban merasa terasing dan kehilangan harapan.
“Dia pulang dalam kondisi lebih buruk dari sebelumnya. Tidak ada bekal untuk kembali menjalani kehidupan normal, tidak ada dukungan yang cukup,” ujar salah satu anggota keluarga korban.
Tragedi ini menegaskan bahwa rehabilitasi tidak cukup hanya menghilangkan ketergantungan, tetapi juga harus memastikan pasien siap menghadapi kehidupan pasca-rehabilitasi.
- Dugaan Pelanggaran di Lembaga Rehabilitasi Kembali Disorot
Sejumlah laporan menyebut bahwa lembaga rehabilitasi tempat korban dirawat sebelumnya pernah tersorot akibat dugaan pelanggaran dalam metode rehabilitasinya.
“Beberapa mantan pasien mengaku mengalami perlakuan kasar dan tidak mendapatkan bimbingan yang cukup untuk kembali ke masyarakat,” ujar seorang sumber yang enggan disebutkan namanya.
Dugaan kurangnya tenaga profesional, pendekatan yang tidak berorientasi pada pemulihan mental dan sosial, serta minimnya fasilitas yang layak di dalam lembaga rehabilitasi, kembali menjadi sorotan.

“Jika rehabilitasi hanya berfokus pada detoksifikasi tanpa memperhatikan aspek psikososial, maka risiko kambuh atau bahkan keputusasaan akan sangat tinggi,” kata Rofiq Azmy.
- Kurangnya Pengawasan & Evaluasi Pemerintah
Kasus ini juga kembali mempertanyakan regulasi dan pengawasan terhadap pusat-pusat rehabilitasi. Apakah pemerintah benar-benar memastikan lembaga-lembaga ini beroperasi sesuai standar yang ditetapkan?
Beberapa faktor yang membuat sistem rehabilitasi belum optimal, antara lain:
❌ Kurangnya tenaga profesional yang terlatih dan berpengalaman dalam rehabilitasi narkoba.
❌ Minimnya fasilitas dan infrastruktur yang memadai untuk mendukung pemulihan mental dan sosial.
❌ Pengawasan dan evaluasi lembaga yang lemah, sehingga sulit mendeteksi kegagalan rehabilitasi.
❌ Kurangnya dukungan finansial bagi lembaga rehabilitasi untuk memberikan layanan yang lebih berkualitas.
“Penegakan hukum dan pengawasan rehabilitasi seolah dilemahkan, sehingga permasalahan ini terus berulang,” tambah Rofiq.
- Mendesak Investigasi & Reformasi Sistem Rehabilitasi
Rofiq Azmy mendesak pihak berwenang segera melakukan investigasi terhadap lembaga rehabilitasi yang menangani korban. Ia menekankan bahwa sistem rehabilitasi di Indonesia membutuhkan evaluasi mendalam dan reformasi total, agar kasus serupa tidak terulang.
“Kita butuh sistem rehabilitasi yang benar-benar membantu korban penyalahgunaan narkoba kembali ke masyarakat dengan bekal yang cukup, bukan malah membuat mereka semakin kehilangan harapan,” tegasnya.
Di sisi lain, masyarakat juga berharap pemerintah lebih serius dalam mengawasi lembaga rehabilitasi serta memastikan bahwa program yang dijalankan benar-benar memberikan solusi bagi pasien, bukan malah memperburuk kondisi mereka. (*)


